Piringan hitam mulai ada sejak tahun 1948. Ada tiga ukuran piringan hitam dalam hitungan rpm (rotation per minute)
yaitu 78, 45, 33 1/3. Piringan hitam 78 dan 45 untuk plat berdiameter
25 cm, sedangkan 33 1/3 untuk plat berdiameter 30 cm. 78, 45, 33 1/3 rpm
maksudnya adalah, setiap satu menit piringan hitam itu berputar
sebanyak angka yang menjadi ukurannya (78, 45, 33 1/3). Semakin besar
diameter platnya, semakin kecil ukuran untuk memutarnya.
Belakangan kecepatan 78 mulai tidak digunakan lagi pada produksi
piringan hitam ini sejak sekitar tahun 60an dan hanya kecepatan 45 dan
33 1/3 saja yang masih digunakan untuk memutarnya. Plat berukuran 30 cm
dengan kecepatan 33 1/3 yang biasa disebut Long Play (disingkat LP),
plat ukuran sedang 25 cm juga dengan kecepatan 33 1/3 masih termasuk
Long Play tapi biasanya berisi 4 buah lagu di tiap sisinya, plat ukuran
18 cm dengan kecepatan 45 atau 33 1/3 juga, berisi 1 buah lagu di tiap
sisinya disebut Single Player dan yang berisi 2 buah lagu di tiap
sisinya disebut Extended Player.
Ada beberapa alat untuk memutar piringan hitam, salah satunya adalah phonograph. Cara kerja piringan hitam sama saja disemua alat pemutarnya, yaitu dengan menggunakan stylus, yang berbentuk seperti jarum yang berada di pinggiran piringan hitam. Stylus itu berfungsi untuk mencatat simpangan gelombang suara yang direkam di piringan hitam dan kemudian meneruskannya ke alat pengeras suara.
Dari segi fisik, piringan hitam besar dan agak berat, Beratnya
kira-kira 90-200 gram. Intinya tidak praktis untuk membawa piringan
hitam kemana-mana. Akan tetapi kelebihannya adalah piringan hitam tidak
mudah rusak dan suara yang direkam bagus. Jadi selama platnya tidak
baret-baret, sebuah piringan hitam tidak akan bermasalah. Oleh karena
itulah piringan hitam banyak disukai orang-orang. Para musisi pada tahun
1950-1970an pun banyak yang merekam lagu-lagu mereka ke dalam piringan
hitam. Namun biasanya mereka hanya merekam single saja kedalam piringan hitam yang berukuran 78 atau 45. Jadi kebanyakan hanya terdapat dua lagu, masing-masing satu lagu di side A dan side
B. Hal itu dikarenakan pada masa itu biaya untuk merekam lagu terbilang
mahal, lagipula seorang penyanyi atau sebuah grup musik biasanya hanya
mempunyai satu atau dua lagu yang terkenal, maka dari itu mereka lebih
memilih membuat single. Jadi kalaupun mereka membuat album, album
hanya bisa direkam di piringan hitam berukuran 33 1/3, biasanya sisa
lagu yang lain yang selain single hanya filler.
Di Indonesia sendiri, piringan hitam mulai digunakan sebagai alat
perekam sekitar tahun 1957. Perusahaan rekaman yang berjaya saat itu dan
memproduksi piringan hitam adalah Lokananta di Surakarta dan Irama di Menteng. Beberapa artis seperti Koes Bersaudara, Titiek Puspa,
dan Lilies Suryani adalah yang merekam lagunya di perusahaan rekaman
tersebut dalam format piringan hitam. Pada masa itu di Indonesia,
piringan hitam termasuk mahal, ditambah lagi dengan alat pemutarnya,
jadi tidak semua orang di Indonesia memilikinya. Itulah salah satu
faktor yang menyebabkan piringan hitam kurang terkenal di Indonesia.
Untuk di dunia sendiri, piringan hitam mulai turun pamornya sejak
adanya CD pada awal tahun 1980an. CD berhasil menggusur pasar piringan
hitam karena fisiknya yang lebih kecil sehingga dapat dengan mudah
dibawa, ditambah lagi suaranya yang jernih.
Namun, pada masa sekarang ini, piringan hitam masih dan sedang banyak
dicari. Karena orang-orang yang ingin memiliki rekaman musisi idolanya,
ingin mempunyai rekaman mereka dari zaman piringan hitam. Lagipula
rekaman lagu-lagu untuk musisi-musisi lama lebih banyak di piringan
hitam. Selain itu nilai tambahan untuk yang mempunyai piringan hitam
sekarang ini adalah kepuasan batin, gengsi, dan esensinya dalam
mengoleksi barang.
0 komentar:
Posting Komentar